Tag Archives: pesawat tempur

Daya Saing Industri Alutsista

27 Mei

Peningkatan kapasitas teknologi pertahanan tidak sekedar cukup dengan membeli perangkat keras karena memiliki anggaran yang besar, milyaran Dollar. Negara yang memboroskan diri ke anggaran pertahanan dengan sekedar membeli perangkat keras tidak akan bisa bertahanan lama dalam mengikuti perubahan tantangan zaman. Benar dia akan dengan cepat mendapatkan perangkat keras canggih dan menggetarkan dalam jumlah banyak dan singkat. Tapi itu hanya semu, sementara saja. Justru dengan adanya anggaran yang besar harusnya bisa berinvestasi untuk sektor penunjang teknologi pertahanan. Lembaga riset baik di badan pemerintahan maupun perguruan tinggi diberi kesempatan dan anggaran yang memadai. Demikian juga sektor swasta di bidang pertahanan lebih diperdayakan lagi. Tidak boleh dimonopolikan ke perusahaan BUMN, apalagi untuk komponen pendukung dan material yang non-lethal. Boleh kebijakan penjualan dan ekspor diatur oleh suatu badan pemerintah namun tidak boleh mematikan sektor swasta. Karena di negara maju, sektor industri pertahanan swasta terbukti jauh lebih efisien dan justru meringankan beban negara serta ikut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan collateral effect.
Produk pertahanan lokal sebaiknya mendapat prioritas memenuhi keperluan domestik. Apabila memang ada suatu perangkat keras pertahanan yang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri maka boleh dibeli ke pihak asing namun harus bisa melibatkan industri dalam negeri. Oleh karena itu produk yang akan dibeli tidak boleh didatangkan bulat-bulat. Dibuatkan regulasi sehingga pemasok asing bersedia share component dan joint production. Untuk bisa ikut share component dan joint production, industri pertahanan baik swasta maupun BUMN harus memiliki skill dan penguasaan teknologi yang
Baca lebih lanjut

Singapura mendekap F-35, Malaysia mendekat PAKFA?

2 Apr

image

F-35 Lightening II, proyek pesawat tempur generasi kelima yang dipandega AS pada tahap mengarah ke manufaktur akhir dan pengiriman ke negara pemakai. Hanya sedikit negara yang mendapat akses teknologi canggih tersebut. Di kawasan Asia di antaranya Jepang, Singapura, Australia, dan Israel. Negara yang bisa membelinya tentu akan menjadikan angkatan udaranya menjadi elit dan disegani. Teknologi pesawat tempur siluman merupakan teknologi terbaru. Semua negara kuat berlomba menciptakannya karena dinilai sebagai faktor kunci keunggulan kekuatan udara terkini dan untuk beberapa dekade ke depan. Dua dekade sebelumnya, cuma AS yang bisa mampu memproduksi pesawat tempur dengan teknologi siluman, F-117 Nighthawk dan B-2 Spirit. Seiring evolusi teknologi, F-117 telah digantikan dengan pesawat yang lebih maju oleh F-22 Raptor. Pesawat tersebut eksklusif digunakan oleh AU AS untuk peran keunggulan udara, tidak untuk diekspor. Melalui kerjasama pendanaan, diproduksi pesawat tempur baru yang berkarakter multi-peran yaitu F-35 Lightening II. Setelah melalui berbagai tahap pengujian berliku dan molornya jadwal produksi akhir menyebabkan biaya membengkak. Namun negara sekutu AS tetap memandang pesawat siluman sebagai aset yang vital dan strategis. Di kawasan Asia  yang sangat dinamis perkembangan ekonomi, perdagangan dan geopolitik strategis mendorong banyak negara memburu teknologi pertahanan kunci. Jepang dan Australia sangat membutuhkan F-35 sebagai strategi mengimbangi kemajuan RRC yang dirasa ekspansif. Demikian pula Singapura, sebagai negara kota yang dikelilingi dua negara besar menitikberatkan kekuatan militernya pada keunggulan teknologi pertahanan.  Menjadikan Singapura di kawasan Asia Tenggara sebagai negara yang paling kuat dalam hal perangkat keras militer saat ini. Demi mempertahankan keunggulan tersebut, Singapura berambisi memperoleh 12 unit pesawat tempur siluman F-35. Lumrah di satu kawasan untuk saling mengimbangi kemajuan teknologi pertahanan satu sama yang lain. Seperti hanya ketika Singapura memiliki tank kelas berat MBT dari Jerman, Leopard 2SG, akhirnya mendorong Malaysia membeli tank kelas berat dari Polandia (PT-91 Twardy). Berantai mempengaruhi Thailand yang mencari tank kelas berat dari Ukraina (T-84 Oplot) dan Indonesia mendatangkan Leopard 2 A4 dan Leopard 2Ri dari Jerman. Kepemilikan pesawat tempur kelas berat F-15 dengan rudal udara kategori BVRAAM (Beyond Visual Range Air to Air Missile) dari AS (rudal AIM-120 AMRAAM) memicu negara Malaysia, Indonesia, dan Vietnam membeli pesawat tempur sekelas dari Rusia yakni SU-27/30 dengan rudal BVRAAM berupa R-77 Vympel atau AA-12 Adder.

image

Rencana pengadaan pesawat tempur F-35 oleh Singapura tentu mempengaruhi perimbangan kekuatan militer di kawasan Asia Tenggara. Kentara Malaysia menunjukkan ketertarikannya terhadap pesawat tempur Sukhoi T-50 PAK FA Rusia yang tengah uji produksi dan turut didanai India untuk tipe FGFA. Negara ketiga yang turut mengembangkan pesawat tempur siluman adalah RRC, meskipun berbagai analis memperkirakan realisasinya akan jauh lebih lama dibandingkan PAK FA Rusia, apalagi jika dibandingkan F-35. Jika Singapura telah memiliki F-35 dan Malaysia mendapatkan PAKFA, bagaimana dengan Indonesia? Berkaca dari pengalaman akses teknologi yang biasanya ketinggalan dibandingkan Singapura dan Malaysia, tidak seharusnya menjadikan Indonesia berkecil hati. Keunggulan perangkat keras tidak serta merta menjadikan angkatan bersenjata negara bersangkutan menjadi superior. Kemampuan memainkan peran diplomasi dan politik strategis bisa menghasilkan keuntungan yang tidak terduga. Bagaimana Rusia bersedia menjual rudal Yakhont berdaya jangkau 300 km untuk kapal perang AL Indonesia bisa mencerminkan perihal itu. Rudal Yakhont versi kapal perang tidak dijual sembarangan. Sedikit negara Asia seperti Indonesia yang dipercaya, Syria dan Vietnam mendapatkan rudal Yakhont versi pertahanan pantai (Bastion).  Meski Malaysia dan Vietnam mencoba mendapatkan rudal setara Yakhont produksi bersama Rusia-India yaitu rudal Brahmos yang multi platform. Jika Indonesia berminat mendapat pesawat tempur siluman pasti pilihannya tinggal dua yakni FGFA Rusia-India atau PAK FA Rusia. Meski PAK FA ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan AU Rusia sendiri. Kemungkinan peluang ekspor adalah FGFA versi Rusia. Pesawat tempur FGFA yang produksi bersama India-Rusia selain untuk menyuplai AU India dan AU Rusia juga ditujukan ekspor tapi berbeda karakter sesuai kustomisasi masing-masing. Tidak menutup kemungkinan akses ke pesawat tempur siluman RRC walau diprediksi sebagai platform penelitian belaka. RRC sangat berhasrat mengembangkan teknologi pesawat tempur siluman dengan membuat dua jenis purwarupa. Purwarupa pertama J-20 dibuat oleh pabrikan Chengdu yang diperkirakan berperan sebagai penyerang jarak jauh. Purwarupa kedua dihasilkan pabrikan Shenyang dengan J-30. Diduga J-30 diranjang untuk beroperasi dari kapal induk dengan watak tugas segala-peran (multirole) mirip F-35. Kalau ke F-35 sangat kecil peluangnya mengingat Indonesia bukan lingkaran dalam AS yang sangat bergantung langsung kepada payung AS baik secara ekonomi maupun politik dan militer. Seperti halnya Singapura, Australia, Jepang, terlebih Israel. Di samping itu, Indonesia harus memperkuat soft skill pertahanan, tidak semata-mata mengejar hard skill berupa perangkat keras. Ini menjadi isu yang luas dan mendalam. Bagaimana meningkatkan kecintaan terhadapa tanah air terutama bagi generasi muda, memperluas komponen cadangan nasional misalkan penggolongan wajib militer. Menjaga pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kemakmuran di samping mencegah kebocoran anggaran. Kekuatan ekonomi yang mumpuni bisa menjadikan posisi Indonesia dinilai penting oleh berbagai negara kuat di penjuru dunia sehingga mereka akan ikut terancam jika Indonesia mendapat ancaman, baik dari dalam terlebih dari luar negeri. Dengan posisi strategis secara politik, kuat perekonomian dan ditopang penguasaan teknologi pasti pelan tapi pasti teknologi pertahanan dari negara maju bisa diakses bahkan produksi bersama ataupun sharing komponen. Mengingat saat ini hampir mustahil satu negara sepenuhnya memproduksi sendiri semua kebutuhan teknologi pertahanannya.

Super Tucano, Prospek Pesawat Tempur Ringan Kontra-Gerilya

23 Agu
Embraer EMB-314 Super Tucano (www.airforce-technology.com)

Konflik asimetris dan kontra-gerilya ternyata masih menjadi bagian dalam peperangan modearn baik negara superpower maupun Indonesia. Sejak 1975, AU Indonesia memanfaatkan pesawat turbo-prop buatan pabrikan AS, North American Rockwell, OV-10F Bronco dalam fungsi anti-gerilya atau COIN (Counter-Insurgency). Pesawat tempur turbo-prop tersebut banyak berperan dalam kancah perang Vietnam baik sebagai light ground attack, observasi, dan FAC (Forward Air Controller). Namun perannya dalam perang Vietnam dengan cepat segera digantikan pesawat turbo-jet serang darat atau CAS (Close Air Support) A-4 Skyhawk, A-6 Intruder, dan A-7 Corsair II. Survivability pesawat turbo-prop yang jelek dalam perang Vietnam di tengah lahirnya generasi baru senjata anti-pesawat jenis panggul (MANPADS) SA-7 Strela dan kehadiran situs-situs SAM. Namun dengan berakhirnya perang Vietnam, OV-10 Bronco masih banyak dipakai negara-negara berkembang seperti Venezuela, Thailand, Filipina, dan Indonesia untuk menghadapi perlawanan gerilya dalam konflik internal. Seiring semakin uzurnya usia-pakai mainframe pesawat, akhirnya Bronco resmi di-grounded dan masuk museum. Selesai sudah peran pesawat tempur turbo-prop legendaris ini yang banyak berkiprah di Indonesia dalam konflik Timor-Timur (Timor Leste) dan Aceh.

Peranan sebuah pesawat turbo-prop dengan fungsi serang ringan sebagai pesawat COIN dirasa masih sangat diperlukan oleh negara-negara berkembang. Meski peran pesawat ini sudah dihapus oleh negara maju seperti NATO dan Rusia yang mengalihkan ke jenis pesawat turbojet dan turbofan.Korps Marinir AS terakhir memakai  Bronco tahun 1995, Indonesia meng-grounded Bronco pada 2007. Akhirnya pada akhir tahun 2010 pemerintah Indonesia memutuskan mengorder satu skuadron penuh 16 unit pesawat tempur ringan turboprop dari pabrikan Brasil, Embraer dengan tipe EMB-314 Super Tucano. Pesawat memiliki 5 hardpoint di sayap dan fuselage, kokpit modern dilengkapi glass-cockpit display, mesin 1 unit Pratt & Whitney PT6A-68C berdaya 1600 HP, pengindera malam AN/AAQ-22 Safire. Daya mesin super tucano memang terbesar di kelasnya, mampu membawa amunisi berbagai kaliber dan beberapa jenis misil.  Super Tucano melejit namanya setelah menuai sukses di tangan AU Kolombia yang berhasil menewaskan Raul Reyes, orang kedua dalam organisasi pemberontak FARC dalam suatu serangan udara lintas perbatasan Operasi Phoenix pada 2008. Aksi ini mendapat respon protes keras pemerintah Venezuela. Super Tucano dan seri sebelumnya sudah dioperasikan sejumlah AU Amerika Latin seperti Brazil, Kolombia, Peru, Ekuador, dan Chile. Venezuela sendiri berminat mengorder Super Tucano tapi diblokir oleh pemerintah AS. Memang pesawat ini banyak memiliki kandungan suku cadang buatan pabrikan AS sehingga Venezuela mengalihkannya ke pembelian heli serang buatan Rusia Mi-28N Havoc, sebuah heli serang pengembangan dari Mi-24/35.

Pergeseran paradigma di lapangan saat ini mulai mengikis keraguan AS terhadap peran pesawat tempur ringan turbo-prop. Semenjak pabrikan OV-10 berhenti produksi, praktis AS tidak memiliki pabrik yang memproduksi pesawat turbo-prop COIN. Militer AS menitikberatkan operasi COIN pada serangan  udara CAS dari pesawat turbojet dan turbofan serta UAV yang ditopang superioritas piranti IRS (Inteligence, Reconnaisance, Surveillance) dengan pergerakan pasukan darat yang dibantu pasukan lokal. Doktrin tersebut Baca lebih lanjut

Rafale, Pesawat Tempur Andalan Perancis dan Prospeknya

7 Agu

Pesawat Tempur AL Perancis, Rafale M (www.asian-defence-tech.blogspot.com)

Pesawat tempur utama AL dan AU Perancis, Rafale, telah membuktikan kehandalannya dalam palagan Libya serta meraih battle proven cap. Tentu hal ini membantu Perancis memperbesar peluang pasar Rafale yang hingga kini lesu tanpa satu pun negara di luar Perancis yang bersedia membeli. Berbeda dengan pesaing dekatnya yang lahir beriringan, Eurofighter Typhoon. Di palagan Libya Rafale menunjukkan kemampuannya sebagai pesawat tempur omnirole dengan menjalankan beberapa misi sekaligus baik misi serangan darat maupun superioritas udara terhadap pasukan pemerintah Libya sekaligus patroli udara dalam rangka no fly zone di atas udara Libya. Pada 19 Maret 2011, Rafale melancarkan serangan darat di dekat Benghazi tatkala ibukota pemberontak tertekan artileri berat Tripoli. Rafale sukses menghancurkan sejumlah sasaran artileri berat tersebut. Pada tanggal 24 Maret 2011, Rafale juga berhasil menghancurkan pesawat jet tempur ringan di Misrata, Soko G-2A Galeb yang merupakan pesawat jet latih buatan eks-Yugoslavia dengan rudal AASM. Sehari sebelumnya Rafale juga melakukan serangan SEAD (Supressed Enemy Air Defense) terhadap lanud Misrata memakai rudal Scalp EG. Di sisi lain Eurofighter Typhoon yang dikerahkan RAF (AU Inggris) belum mampu beroperasi sendiri tanpa berpartner dengan pesawat lain. Pada 12 April 2011, sebuah Typhoon Inggris yang berpasangan dengan Tornado GR4 melancarkan serangan darat terhadap kendaraan lapis baja pemerintah Libya. Typhoon meluncurkan 2 bom cerdas GBU-16 Paveway II dengan sasaran dipindai oleh Tornado GR4 dengan laser targetting pod Litening III. Kasau Inggris berdalih kurangnya pilot Typhoon yang terlatih mengoperasikan pod Litening III.

Sejauh ini ada 3 varian Rafale yakni Rafale C dan Rafale M yang berkursi tunggal dan Rafale B yang berkursi ganda (tandem). Versi C dan B dioperasikan AU Perancis sedangkan versi M dioperasikan AL Perancis berbasis kapal induk. Dari awal desain memang Rafale langsung ditujukan untuk penggunaan pangkalan aju darat dan kapal induk yang masing-masing memiliki kesamaan (commonality) yang tinggi sehingga menghemat biaya produksi dan suku cadang. Berbeda dengan Eurofighter yang desain dasarnya menekankan fungsi operasional di landasan darat. Baru dibuat purwarupa operasional kapal Baca lebih lanjut

24 Pesawat F-16 Pasti Datang

24 Jun
Pesawat Tempur TNI-AU F-16 A Block 15 OCU

Menhan RI, Poernomo Yusgiantoro, dengan Komisi I DPR memastikan tawaran hibah 24 unit F-16 bekas dari AS diterima. Pemerintah dan DPR telah setuju menerima tawaran hibah tersebut setelah mengkaji secara mendalam. Di lain pihak Konggres AS telah menyetujui rencana pemerintah AS di bawah Barack Obama akan hibah itu. Dalam setahun ke depan akan datang 3 hingga 5 pesawat, sesuai dengan kapasitas upgrading pabrikan. Dananya diambil dari alokasi rencana pembelian 6 unit F-16 Block 52 baru. Hibah F-16 bekas disampaikan oleh Menhan Rober Gates pada kunjungan 2008. Dalam kunjungan Presiden AS Barack Obama beberapa wakt lalu, beliau menegaskan kembali rencana hibah tesebut

Namun banyak mendapat kritisi dari berbagai pihak termasuk Komisi I sendiri. Penawaran hibah pada mulanya diiringi ketakutan trauma embargo militer AS yang pernah dialami Indonesia dari tahun 2000, baru dicabut pada November 2005. Embargo militer dijatuhkan AS kepada Indonesia akibat krisis Timor Leste di mana Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM. Dampaknya sangat serius bagi armada pesawat tempur maupun non tempur TNI-AU. Hampir semua pesawat tempur F-16 grounded akibat kekurangan suku cadang bahkan terjadi kanibalisasi. Mulai 2008 AS kembali membantu Indonesia dalam perawatan pesawat terutama C-130 Hercules dan F-16 Falcon. Saat kini dari 10 pesawat F-16 yang tersisa baru 6 unit yang layak terbang dan 4 unit tercatat rusak.

Pada mulanya Pemerintah berencana mengupgrade 10 unit F-16 A/B tersebut yang berkelas Block 15 OCU ke F-16 C/D Block 32 dan menambah 6 unit baru F-16 C/D Block 52. Harga satu unit F-16 Block 52 sekitar 60 juta dollar. Namun AS menyarankan untuk menerima hibah pesawat bekas cadangan F-16, dana yang ada bisa dipakai untuk meng-upgrade 24 unit pesawat bekas tersebut. Pesawat cadangan AS yang akan dihibahkan merupakan F-16 C/D Block 25 yang ketinggalan jaman avioniknya dan harus diupgrade teknologinya ke kelas Block 32. Lifetime pesawat masih panjang masih tersisa 4000 hingga 5000 jam, masih hingga 20-25 tahun lagi dengan pemakaian yang hemat. Biaya upgrade tiap pesawat diperkirakan sekitar 10 juta dollar. Jika sudah kelar semua maka TNI-AU akan memiliki kekuatan 2 skudron F-16 C/D Block 32 dengan jumlah 34 unit. Kekuatan taktis yang sangat efektif di Asia Tenggara.

Namun yang perlu diperhatikan adalah kesinambungan AS dalam mendukung perawatan pesawat tersebut, terutama resiko ancaman embargo di kemudia hari. Mengingat pada bulan November 2010, Dubes dan Konggres AS sempat ribut masalah pelanggran HAM TNI di Papua akiobat kasus video penyiksaan penduduk setempat oleh oknum TNI. Ini merupakan sinyal yang perlu dicermati oleh pihak pemegang keputusan. Kemudian program pengadaan pesawat bekas F-16 tersebut harus diikuti dengan pemenuhan arsenalnya. Jangan seperti program pembelian Su-27/30 dari Rusia yang tidak bersama paket senjatanya. Perlu waktu yang lebih lama realisasi pengadan arsenal Sukhoi sehingga sempat menjadikan pesawat tempur Sukhoi Indonesia ibarat macan ompong.

Purwarupa F-35 JSF (www.defenseindustrydaily.com)

Arsenal F-16 yang dilengkapkan pun harusnya lebih baik lagi. Saat pembelian F-16 pertama Indonesia pada 1989 dan 1990, bersama paket senjata meliputi AIM-9-P4 Sidewinder, rudal anti-pesawat jarak pendek, dan AGM-65 Maverick, rudal udara-darat untuk sasaran keras berdaya jelajah menengah. Untuk kali ini harusnya diikuti paket pembelian arsenal yang lebih baik lagi minimal dengan AIM-120 AMRAAM, rudal anti-pesawat jarak menengah (sekitar 50 km). Serta rudal anti pesawat jarak pendek AIM-9 seri terbaru yang lebih andal dari pada seri sebelumnya seperti seri P4 (daya tahan jamming/decoy, akurasi, kemudahan manuver). Perlu diketahui cuma Indonesia saja yang memiliki pesawat tempur buatan AS tanpa AIM-120 AMRAAM di Asia Tenggara. Yang lain sudah ada seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia. Menjadikan pesawat tempur TNI-AU sangat lemah dalam peperangan BVR (Beyond Visual Range). Dengan akuisi pesawat-pesawat F-16 tadi diperkirakan F-16 menjadi tulang punggung armada tempur TNI-AU hingga kehadiran armada pesawat yang lebih maju lagi di masa depan, KFX yang bergenerasi 4,5+. Akan tetapi diperkirakan juga negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia sedang menunggu kedatangan pesawat tempur generasi 5, F-35. Apakah Indonesia akan selalu terbelakang?